Kamis, 26 Maret 2015

Bukan Sekedar Mengenai Sasaran: Referat Pengantar Terminal Ballistic

Setelah cukup yakin memiliki kemampuan mengenai sasaran pada jarak tertentu, saya akhir-akhir ini mulai aktif mengikuti kegiatan berburu. Pada artikel sebelumnya saya bercerita bagaimana tingkat keberhasilan saya dalam berburu. Singkat cerita ternyata tidak begitu berhasil. Memiliki senapan bertenaga dan akurat, mampu mengeksekusi tembakan dan mengenai sasaran, namun tidak berhasil menjatuhkan sasaran. Apa yang salah dengan itu?
Saya pernah merangkumkan bahwa proyektil yang ditembakkan dari senapan kaliber 4.5 mm bisa jadi mematikan. Saat itu saya menekankan bagaimana kematian dapat terjadi pada manusia akibat efek penetrasi proyektil yang menyebabkan perdarahan maupun kerusakan organ langsung seperti kerusakan pada sistem syaraf pusat. Secara cepat maupun jangka panjang. Namun pada hewan kecil, yang menjadi sasaran perburuan saya, mekanisme terjadinya kematian seketika tidak hanya terjadi melalui mekanisme tersebut di atas. Dalam bidang balistik, kematian seketika banyak disumbangkan melalui efek kejutan hidrostatis (hydrostatic shock). Jadi apa sajakah sebenarnya yang menyebabkan kelumpuhan maupun kematian instan pada hewan buruan?

Hydrostatic Shock yang ditimbulkan sebuah proyektil yang melewati medium gelatin balistik.



Kekuatan yang Menghentikan dalam Sekejap
Dalam istilah balistik, khususnya terminal balistik, dikenal istilah stopping power. Istilah ini didefinisikan sebagai kemampuan suatu senjata pelontar proyektil untuk menyebabkan trauma balistik kepada target hidup dan cukup untuk seketika melumpuhkan dan menghentikan sasaran. Dalam hal ini penekanan terjadi pada keadaan di mana sasaran mengalami ketidakberdayaan seketika, terlepas dari apakah pada akhirnya menjadi sasaran hidup itu mengalami kematian. Kemampuan membunuh atau menyebabkan kematian pada sasaran hidup sendiri disebut dengan istilah lethality. Dalam suatu perburuan, stopping power tampaknya lebih dibutuhkan untuk memastikan sasaran rubuh pada tempatnya sehingga dapat dipungut dengan mudah dan tentunya untuk alasan peri kemanusiaan di mana kita perlu menghindarkan penderitaan berkepanjangan dari sasaran hidup.
Untuk mencapai keadaan ketidakberdayaan secara cepat ini, dibutuhkan banyak faktor. Faktor yang menentukan keadaan ini cukup rumit dan sulit dipelajari karena melibatkan mahluk hidup. Secara umum keadaan ini bergantung pada penempatan tembakan, karakter fisik proyektil dan bagaimana proyektil ini menimbulkan dampak pada sasaran. Penempatan tembakan terbaik yang dapat menumbangkan sasaran seketika ialah pada bagian syaraf pusat terutama di bagian otak, batang otak, dan sumsum tulang belakang bagian leher. Sedangkan karakter fisik proyektil yang berperan dalam keadaan ini adalah proyektil yang dapat menyebabkan kondisi hydrostatic shock dan efek perlukaan yang optimal.

Hydrostatic Shock
Kita pasti pernah melihat bagaimana reaksi permukaan air saat kita melemparkan sebuah batu ke dalamnya. Permukaan air yang tenang akan membentuk gelombang saat sebuah batu masuk ke dalamnya. Apa yang terjadi?
Cairan pada umumnya bersifat hampir tidak dapat dimampatkan (near incompressible). Tidak seperti gas yang merapatkan molekulnya saat mendapatkan tekanan dan membentuk fasa cair, cairan sendiri hampir tidak dapat merapatkan molekulnya. Jadi bilamana suatu cairan mendapatkan tekanan, tekanan itu akan diteruskan ke segala arah dalam bentuk gelombang kejut (shock wave).
Pengetahuan umum mengatakan bahwa 60% komposisi jaringan tubuh organisme sendiri baik hewan maupun tumbuhan terdiri dari air. 2/3 dari air tersebut tersekat-sekat dalam membran sel, dipisahkan dengan selaput yang sangat tipis (3-4 nanometer; 1 nanometer setara 0,000001 milimeter). Kemudian 1/3 sisa air itu terdapat di luar sel tubuh, salah satunya yang terdapat dalam darah (1/4 dari 1/3 bagian tersebut). Jadi komposisi darah sendiri dari total cairan tubuh terbilang kecil.
Bayangkan bila terjadi suatu peningkatan tekanan jaringan tiba-tiba semisal akibat dari sebuah proyektil yang ditembakkan dan memasuki jaringan yang intinya adalah sebuah sirkuit cairan. Energi kinetik ini harus diterima oleh sirkuit ini dan harus diteruskan dalam bentuk gelombang kejut hingga tercapai keseimbangan. Bayangkan dampak yang harus diterima jaringan akibat menerima perubahan tekanan tiba-tiba dan melebihi ketahanan membran sel yang begitu tipis saat dilewati oleh gelombang kejut itu. Bilamana kerusakan tersebut tidak terlihat secara kasat mata sekalipun, minimal fungsi jaringan dan organ sudah mengalami gangguan.
Ide ini telah banyak diamati dan dipelajari pada tataran dunia berburu dan berkembang pada masa perang. Harvey Newton pada tahun 1947 memaparkan bagaimana sebuah jaringan lunak hidup menerima serangan misil berkecepatan tinggi. Dikatakan tekanan terbentuk pada jaringan tersebut hingga ribuan tekanan atmosfer/bar. Pada paparannya dikatakan terdapat tiga jenis perubahan tekanan: (1) tekanan gelombang kejut (shock wave pressure), sangat tinggi dan tajam, terbentuk saat misil mengenai permukaan tubuh; (2) regio tekanan sangat tinggi (very high pressure regions), terbentuk di depan dan sisi proyektil yang bergerak dalam jaringan; dan (3) Perubahan tekanan relatif rendah dan lambat akibat terbentuknya kavitas/lubang sementara (temporary cavity) di belakang proyektil. Rangkaian perubahan tekanan ini disebutnya sebagai hydraulic shock, dan merupakan penyebab utama kematian seketika pada binatang yang ditembak dengan peluru berkecepatan tinggi.

Pengukuran perubahan tekanan air akibat benturan proyektil baja berbentuk bola berdiameter 3/16" yang bergerak pada kecepatan 3,000 f/s. Tekanan puncak yang terukur mencapai 600 psi. Bila garis penanda berjarak 0.020 detik, maka tekanan puncak ini hanya berlangsung pada periode yang sangat singkat. Diikuti peningkatan tekanan yang lebih landai dalam waktu beberapa mikrosecond kemudian. Dikutip dari:
"Harvey Ballistic Pressure Wave" by Surgeon General - Wound Ballistics in WWII. Licensed under Public Domain via Wikipedia - http://en.wikipedia.org/wiki/File:Harvey_Ballistic_Pressure_Wave.jpg#/media/File:Harvey_Ballistic_Pressure_Wave.jpg

Ilustrasi peningkatan tekanan terhadap waktu pada penggunaan beberapa cartridge senjata api. Diukur pada jaringan menggunakan transducer di permukaan jaringan. Menunjukkan pola yang sama dengan air pada ilustrasi sebelumnya. Dikutip dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrostatic_shock

Hydrostatic Shock (hydros=air, stasis=diam, Latin) adalah gagasan bahwa suatu organ dapat dirusak dengan gelombang tekanan selain dari efek penetrasi sebuah proyektil. Gelombang kejut ini dapat diciptakan bilamana cairan yang diam digantikan dengan benturan dari udara, suara (sonic), maupun proyektil. Contoh paling sering dilihat adalah bagaimana buah-buahan misalnya sebutir tomat dapat meledak akibat ditembak dengan peluru maupun mimis berkecepatan tinggi. Pada kecepatan proyektil yang rendah di mana hydrostatic shock tidak terjadi, tomat tidak meledak alih-alih hanya menunjukkan lubang di permukaannya.

Gambaran buah tomat yang meledak akibat hantaman mimis berkecepatan tinggi. Dikutip dari: http://yelizisik.blogspot.com/2010/05/time-warp-in-fruit-shoot-frozen-in-time.html

Efek Perlukaan Proyektil
Proyektil bekerja dengan cara menghancurkan jaringan yang berada di depan lintasannya, dan bukan dengan cara memotong jaringan di depannya. Suatu proyektil akan merusak ataupun menghancurkan jaringan bilamana melakukan penetrasi dan menimbulkan dua macam efek. Efek pertama yaitu meninggalkan saluran sepanjang perjalanan proyektil ini dalam jaringan. Hal ini disebut sebagai kavitas permanen (permanent cavity). Efek kedua yang disebabkan oleh proyektil adalah menimbulkan regangan dan ekspansi pada jaringan sekitar yang dilewati proyektil ini dan diameternya jauh lebih besar dari diameter proyektil itu sendiri. Efek kedua ini dinamakan sebagai kavitas temporer (temporary cavity), karena bersifat sementara dan cepat menghilang.

Ilustrasi bagaimana proyektil yang bergerak menciptakan kavitas permanen, kavitas temporer, dan gelombang tekanan sonik saat bergerak dalam medium cair padat seperti gelatin balistik dan jaringan hidup. Dikutip dari: http://www.firearmstactical.com/wound.htm

Efek perlukaan pada jaringan sesungguhnya tidak sesederhana seperti yang pernah saya singgung pada artikel terdahulu, di mana hanya terjadi sejauh mana penetrasi proyektil terjadi dan menimbulkan permanent cavity. Pada perlukaan akibat tumbukan proyektil, selain menimbulkan kavitas permanen dapat juga timbul temporary cavity akibat efek hydrostatic shock di atas.
Pada kavitas permanen, kerusakan yang dapat menghasilkan stopping power bergantung pada organ yang dikenainya. Pada jantung dan pembuluh darah besar, kerusakan yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan hebat yang akhirnya memutuskan aliran darah ke otak. Perkenaan pada paru-paru dan hati, walaupun menimbulkan perdarahan yang sama, namun menyebabkan kematian yang lebih lambat daripada perkenaan langsung pada jantung. Lain halnya bila perkenaan terjadi pada otak. Bila otak mengalami perlukaan, dapat terjadi kehilangan kesadaran seketika juga sehingga dapat menimbulkan kesan kematian instan. Walaupun pada kenyataannya kematian baru terjadi setelah jantung berhenti berdenyut beberapa saat kemudian. Kenyataannya kematian seketika hanya terjadi bilamana kerusakan terjadi pada otak.
Kavitas temporer terjadi saat hydrostatic shock menyebabkan ekspansi ruang pada jaringan yang bersifat sementara dan ruang ini kembali menutup akibat elastisitas jaringan. Pada peristiwa ini, jenis trauma yang timbul ialah akibat peregangan jaringan secara mendadak sehingga timbul robekan jaringan. Robekan ini dapat terjadi bilamana tingkat elastisitas jaringan tersebut terlampaui. Pada studi gelatin balistik, kemunculan kavitas temporer menimbulkan robekan berbentuk radial. Namun studi pada mahluk hidup belum terlalu dipahami dampaknya terhadap keutuhan jaringan.
Diketahui sebagian besar jaringan lunak mahluk hidup memiliki elastisitas yang lebih besar daripada gelatin balistik. Tingkat elastisitas ini memampukan jaringan menerima regangan sedemikian besar tanpa mengalami kerusakan pada strukturnya. Namun beberapa laporan menyatakan timbulnya efek kelumpuhan instan dapat terjadi jika kavitas temporer ini mengenai bagian syaraf pusat seperti otak dan syaraf tulang belakang.
Tingkat di mana permanent cavity dan temporary cavity diperoleh bergantung pada massa, diameter/kaliber, materi, desain dan kecepatan dari proyektil. Secara umum energi kinetik berbanding lurus dengan massa dan kecepatan proyektil. Sehingga semakin besar massa dan kecepatannya, maka semakin besar energi kinetik yang terkandung dalam proyektil untuk ditransfer pada sasaran. Kaliber proyektil berhubungan langsung dengan luas dan volume kavitas yang dihasilkan. Sedangkan pemilihan materi dan desain proyektil berhubungan dengan karakteristik proyektil yang dikehendaki seperti: berekspansi ataupun tidak saat tumbukan, berekspansi pada kecepatan tertentu (kecepatan rendah saja, tinggi saja, maupun pada beberapa tingkat kecepatan), maupun beberapa karakteristik lain yang unik seperti pecah (mengalami fragmentasi) atau mengalami disintegrasi saat tumbukan.

Penetrasi dan Transfer Energi
Dari paparan di atas kita telah mengetahui bahwa suatu proyektil untuk melakukan tugasnya perlu untuk melakukan penetrasi sehingga menciptakan kavitas yang cukup pada organ vital. Namun sejauh mana penetrasi yang dibutuhkan untuk menciptakan kelumpuhan segera?
Idealnya suatu proyektil mampu menimbulkan perlukaan sepanjang ketebalan tubuh yang melintasi organ vital dari berbagai sudut. Semakin panjang kavitas yang terbentuk, maka semakin luas pula daerah yang mengalami kerusakan. Namun teori lain juga mengatakan bahwa dalam menciptakan kelumpuhan seketika, kita perlu menempatkan energi yang terkandung pada proyektil sebanyak mungkin pada jaringan vital. Hal ini cukup bertentangan dalam praktiknya karena untuk menciptakan kavitas yang panjang dan luas, kita dapat saja menyebabkan keadaan over penetrasi. Sedangkan untuk menempatkan energi semaksimal mungkin pada jaringan vital, bisa saja kita menyebabkan kondisi under penetrasi.
Seperti diketahui, energi merupakan perkalian massa denga kuadrat kecepatan. Sedangkan pada sasaran, di mana dalam pokok bahasan ini adalah jaringan hidup, energi itu dipergunakan dalam bentuk perubahan fisik pada proyektil itu sendiri (misalnya berekspansi maupun pecah/disintegrasi) dan perubahan jaringan (menimbulkan gelombang tekanan balistik, ballistic pressure wave). Jadi bilamana suatu proyektil masih bisa meninggalkan jaringan yang disasar dengan kecepatan tertentu (over penetrasi), maka tidak semua energi kinetik yang dimiliki oleh proyektil itu ditransfer pada jaringan.
Salah satu isu lain mengenai hubungan penetrasi dengan energi kinetik adalah semakin dalam penetrasi terjadi, maka kecepatan proyektil akan semakin rendah akibat retensi jaringan. Akibatnya kavitas yang terbentuk akan semakin sempit karena energi kinetik yang diubah lebih kecil.

Ilustrasi luka yang disebabkan akibat perkenaan peluru senjata api .22 LR seberat 37 grain dengan kecepatan 1272 f/s. Kavitas yang terbentuk akan semakin kecil seiring semakin jauhnya peluru berpenetrasi. Di sisi lain diameter peluru membesar akibat ekspansi dari ukuran awal 5.56 mm menjadi 9.6 mm pada jarak 26.5 cm. Dikutip dari: http://www.firearmstactical.com/wound.htm

Berburu dengan Kaliber Kecil
Jadi apakah yang dapat dipelajari dari paparan di atas? Secara umum di Indonesia, perburuan yang relatif bebas dapat dilakukan, menggunakan senapan angin dengan kaliber 4.5 mm. Pastinya banyak keterbatasan untuk menerapkan aspek stopping power di atas karena: (1) kaliber berukuran tetap dan sangat kecil, (2) Energi kinetik yang dihasilkan juga terbatas karena mimis berat yang tersedia terbatas dan adanya batasan alamiah yaitu kecepatan subsonic agar mimis tetap akurat. Bila kaliber sudah menjadi batasan, maka kita perlu tahu batasan energi kinetik yang terkandung pada senapan angin kaliber 4.5 mm. Karena energi kinetik memiliki komponen massa dan kecepatan, maka kedua komponen itu yang akan kita cari batasannya.
Saat ini senapan yang paling kuat adalah senapan angin berjenis PCP (pre charged pneumatic). Bila desain diijinkan hanya untuk mengejar kekuatan, senapan jenis ini dapat melontarkan mimis terberat hingga kecepatan supersonic (di atas kecepatan suara yang berkisar 340 m/s, atau 1100 f/s). Namun masalahnya desain radikal tidak akan membawa manfaat berarti di lapangan karena biasanya laras menjadi sangat panjang, bobot keseluruhan menjadi berat, jumlah tembakan yang dihasilkan sangat terbatas dan seringnya konsistensi antar tembakan menjadi tidak baik. Secara realistis mimis senapan angin ditembakkan pada kecepatan subsonic, bahkan di bawah kecepatan transonic (900-1100 f/s) agar akurat. Bilapun ada senapan angin komersial yang dapat melontarkan mimis melebihi kecepatan itu, penembak akan memilih mimis yang lebih berat untuk menurunkan kecepatannya. Pada area kecepatan transonic, mimis akan bergoyang tidak beraturan karena kestabilannya terganggu saat bersinggungan dengan gelombang sonic. Dan saat ini mimis berat kaliber 4.5 mm yang ada di pasaran berkisar 16-an grain (dimiliki oleh Eun Jin, H&N, dan JSB). Jadi energi maksimal yang terkandung pada senapan angin kaliber 4.5 mm menggunakan mimis komersial terberat (JSB Beast 16.36 grain) dengan kecepatan subsonic tertinggi (900 f/s) adalah 29.43 fpe atau 39.90 Joule. Sangat terbatas. Belum lagi ballistic coefficient mimis kaliber 4.5 mm sangat rendah, sehingga pada jarak pendek saja mimis sudah kehilangan banyak energi kinetiknya karena hambatan udara.
Pada tataran yang lebih realistis, energi ini lebih rendah lagi karena kebanyakan pengguna senapan angin di Indonesia menggunakan mimis 8-an grain dengan kecepatan sekitar 750 f/s. Dengan setting seperti ini maka energi yang terkandung pada mimis hanya sekitar 10-11 fpe. Melihat kenyataan ini maka sebaiknya perburuan ditujukan hanya pada hewan kecil seperti burung dan mamalia kecil. Bukan berarti senapan angin kaliber 4.5 mm tidak dapat membunuh hewan yang lebih besar, namun karena kita menghendaki kematian seketika dan berperikemanusiaan.
Dengan kandungan energi serendah ini, maka penempatan tembakan adalah faktor kunci dalam menjatuhkan sasaran secara cepat. Hewan kecil dengan tembakan pada bagian kepala adalah kombinasi terbaik untuk mengoptimalkan stopping power. Parameter keberhasilan yang terlihat adalah sasaran langsung jatuh, mengalami kejang akibat kekacauan sinyal otak, dan segera menjadi tidak bergerak. Penembak senapan angin di Inggris dengan batasan energi 12 fpe untuk penggunaan senapan angin tanpa ijin mengerti betul bahwa kematian instan dilakukan dengan penempatan mimis di bagian kepala (head shot).
Seringkali tembakan pada bagian kepala sulit untuk selalu dilakukan. Semisal pada hewan yang cukup aktif gerakan kepalanya seperti kebanyakan burung dan tupai. Alternatifnya tembakan pada bagian dada bisa juga dilakukan. Tembakan di dada dengan efek hydrostatic shock yang cukup dikatakan mampu menimbulkan efek yang merusak pada otak akibat pecahnya pembuluh darah otak. Maka dalam skenario ini, kita perlu mengoptimalkan faktor-faktor lain yang berperan dalam meningkatkan stopping power.
Desain proyektil seperti diketahui dapat membantu mengoptimalkan perlukaan pada sasaran. Dalam hal ini kompromi dari akurasi, penetrasi, ekspansi, dan transfer energi merupakan fitur yang ditawarkan dari berbagai jenis mimis berburu.
Desain kepala mimis memainkan peran penting dalam menentukan efek yang diharapkan pada sasaran. Sebagai pedoman umum: mimis berkepala rata ataupun cekung (hollowed) memiliki tingkat ekspansi yang baik dan tingkat transfer energi yang baik, namun sangat terbatas pada kemampuan penetrasinya, pula akurasi dan energi yang dikandungnya terbatas untuk jarak dekat. Mimis berkepala runcing (pointed) memiliki kemampuan penetrasi yang baik, namun lemah pada sisi akurasi, ekspansi dan transfer energi. Sedangkan mimis berkepala kubah (domed) secara umum baik dalam akurasi dan memiliki kompromi yang cukup dalam penetrasi dan tingkat transfer energi.
Sebagai perbandingan di bawah ini adalah ilustrasi dari dua macam mimis (dalam kaliber 5.5 mm). Bagaimana perbedaan desain kepala mimis berdampak pada kerusakan yang ditimbulkannya.

Pada mimis berkepala domed, kavitas temporer yang dihasilkan cukup besar diikuti dengan kemampuan penetrasi yang baik. Dikutip dari: https://www.youtube.com/watch?v=XKIUvUsLcsg

Pada mimis berkepala rata atau hollowed, kavitas yang dihasilkan sangat besar tanpa menimbulkan penetrasi yang berlebih pada kecepatan yang hampir sama sehingga energi kinetik mimis diserap seluruhnya oleh medium tersebut. Dikutip dari: https://www.youtube.com/watch?v=X3Lp9s1TNyc

Seringkali juga dalam skenario berburu, sasaran terletak di berbagai jarak. Terkadang dekat, dan bila kepercayaan diri dan kemampuan menembak baik, jarak jauhpun bukan menjadi masalah. Jarak yang berbeda ini secara teori membutuhkan mimis yang berbeda. Masalahnya untuk mengubah-ubah mimis yang digunakan seringkali sulit dikerjakan karena rifle scope biasanya diatur untuk satu jenis mimis dan tidak cocok untuk penggunaan mimis lain. Dalam kondisi yang seperti ini, kita sebaiknya menggunakan mimis yang bisa berkompromi terhadap berbagai jarak (akurat) namun tetap memberi efek kerusakan yang cukup. Biasanya hal ini dicapai dengan penggunaan mimis berkepala domed dengan berat menengah. Maupun jenis-jenis mimis berdesain kepala baru yang menggabungkan bentuk kepala domed dengan profil hollowed.  Apapun itu pilihannya, pengalaman dan uji coba akan menjawab pertanyaan tentang jenis mimis terbaik untuk menumbangkan sasaran secara instan.

Phill Price mendemonstrasikan efek mimis kaliber .177 pada medium plastis sebagai ganti medium elastis seperti gelatin balistik. Beliau menggunakan Terracotta Wax sehingga dapat merekam dan mengukur kavitas temporer yang tercipta. Gambar di atas adalah hasil tembakan menggunakan mimis kaliber .177 berkepala dome (kiri) dan berkepala hollow (kanan). Dikutip dari: https://www.youtube.com/watch?v=OJX3xg1nUAY


Pada percobaan menggunakan medium yang sama dan dilakukan pencetakan menggunakan gipsum, beliau dapat menilai bentuk dan volume rongga saluran hasil tembakannya. Semua cetakan ini didapatkan menggunakan mimis dengan kaliber yang sama yaitu .177. Dua cetakan di tangan kiri adalah cetakan dari mimis berat (sekitar 10 grain) berkepala domed di sebelah kiri dan mimis ringan berkepala rata (sekitar 7 grain) di sebelah kanan. Mimis berkepala rata dalam demo ini memiliki saluran luka yang sangat besar pada daerah sebesar dada mamalia kecil. Sedangkan mimis berat gagal menyalurkan seluruh energi yang dikandungnya dan terus berpenetrasi meninggalkan saluran luka yang sempit. Pada demo ini beliau menyarankan bila jarak menjadi pertimbangan, mimis dengan berat sedang berkepala domed (di tangan kanan, sekitar 8 grain) akan menjadi kompromi yang baik antara akurasi di berbagai jarak dan volume saluran luka.

Demikian artikel ini saya susun sebagai pengantar terhadap topik terminal ballistic dan penggunaannya pada kaliber kecil. Sekali lagi, untuk mengoptimalkan stopping power tidak ada satu faktor tunggal yang berperan. Bilapun kaliber dan kecepatan sudah disamakan, masih banyak hal yang perlu digali dan tentunya memberikan ruang eksplorasi tersendiri dalam hobi saya yang menarik ini. Semoga berguna. Terbuka untuk masukan dan pertanyaan.

Tidak ada komentar :