Rabu, 02 Juli 2014

Pancanaka Mencoba Berburu: Sebuah Catatan Kegagalan

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang pembaca sekalian. Semoga ibadah pembaca budiman sekalian diiringi kelancaran dan mendapatkan pahala yang setimpal.
Pada posting kali ini saya mencatatkan pengalaman saya yang sangat berkesan. Sangat berkesan karena segala suatu yang pertama kali dikerjakan pasti sangat diingat. Terutama karena pada saat ini akhirnya saya berkesempatan bergabung dengan kelompok yang biasa berburu dengan senapan angin. Setelah lama membekali diri dengan berbagai senapan dan ilmunya, rasanya tidak lengkap tanpa memraktekannya dengan terjun langsung.
Pada artikel ini saya hanya bercerita dan berusaha mengambil pelajaran yang sedikit terjaring dari begitu banyak jejalan pengalaman pada perjalan berburu perdana saya. Tidak banyak hal teknis yang bisa saya sarikan. Pada artikel ini tercantum beberapa isu sensitif yang mungkin tidak semua pembaca setujui. Kearifan dari pembaca yang sensitif terhadap tema perburuan sendiri yang akan mencegah anda untuk tidak melanjutkan membaca artikel kali ini.

Grup RAMPING dari Kabupaten Bandung Barat dengan Mang Ali (bertopi, kedua dari kanan, menggunakan Sharp Innova 2 negara tanpa rifle scope).
Lama saya berusaha untuk mencari tahu sensasi dari kegiatan dasar umat manusia yang paling tua dicatat ini. Bersama-sama dengan kegiatan mengumpulkan makanan, kegiatan berburu secara berkelompok adalah kegiatan dan keahlian yang paling dasar dari sejarah perkembangan peradaban manusia. Keahlian yang sudah banyak dilupakan oleh manusia modern karena berkembangnya kecakapan manusia lainnya di bidang pertanian dan perdagangan. Sehingga keahlian lain seperti keahlian menamai suatu penyakit tampak lebih dihargai daripada mencari tahu di mana suatu hewan yang dapat dimakan biasa bertengger. Atau keahlian menghapalkan PIN kartu debit lebih diutamakan untuk mencukupi kebutuhan makanan kita selama sebulan dibandingkan harus menghapalkan kapan waktunya suatu satwa berkeliaran.


Ceritanya sebelum memasuki bulan puasa kali ini saya mengontak seorang kawan yang sering berburu. Bermotivasikan keinginan untuk melepas penat dari aktifitas yang sedang macet , ternyata gayung bersambut. Keinginan ikut saya ternyata ditanggapi. Tanpa persiapan peralatan berburu dan fisik yang memadai, saya yakinkan untuk bergabung dalam kegiatan berburu sehari. Target kali ini adalah kelompok bajing (tupai, Sundasciurus sp.) yang dilaporkan masih banyak melimpah dan berkompetisi dengan manusia dalam memperebutkan tanaman aren dan kelapa di perkebunan rakyat sekitaran kabupaten Bandung Barat.
Singkat cerita kami memulai memasuki kawasan hutan rakyat pada saat pagi sekitar pukul 06.00. Dipandu oleh pemburu lokal (sebut saja namanya Mang Ali), kami dijanjikan medan yang mudah dilalui bahkan oleh pemula sekalipun. Namun tampaknya keberuntungan kurang berpihak pada kami khususnya saya. Karena setelah seminggu ini cuaca setempat dilaporkan kering tanpa hujan, namun pada malam harinya kawasan ini diguyur hujan cukup lebat. Hasilnya medan jalan setapak yang kami lalui berubah menjadi medan lumpur yang lengket memberatkan di sepatu namun sangat licin untuk menjadi pijakan. Belum lagi ternyata kawasan perburuan yang awalnya dijanjikan cukup mudah, ternyata adalah punggung-punggung perbukitan yang cukup curam. Hal ini menguras banyak tenaga kami untuk berjalan menembus hutan. Jangankan berjalan membawa senapan, mencoba untuk tetap berdiri dengan kedua kaki saja rasanya sangat sulit.
Suasana cukup optimis dan penuh dengan semangat. Saya tidak sendiri sebagai pemula. Beberapa orang di dalam kelompok juga ada yang belum pernah merasakan suasana berburu bersama. Kesulitan medan hingga pagi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk meneruskan perburuan. Kami berhasil mencapai tepian hutan sekitar jam 06.30. Kelompok kemudian dipecah menjadi beberapa tim dan senapan disiapkan. Rupanya waktu tiba kami masih cukup pagi bagi bajing untuk keluar dari sarangnya. Sehingga di tepian hutan yang menurut mata terlatih sekalipun cukup menjanjikan untuk bajing menampakkan diri, saat itu masih terlihat sepi. Saya mengikuti tim yang dipandu oleh Mang Ali untuk masuk lebih dalam ke dalam hutan. Rute yang saya pilih termasuk sulit karena harus menaiki punggung bukit yang cukup curam. Berbekal kepercayaan diri akan fisik yang masih muda dan pengalaman di kelompok pecinta alam saat masih kuliah, maka saya memilih rute yang tampak lebih menjanjikan ini. 
Tampaknya pilihan saya memang tepat. Tidak lama melangkah memasuki hutan, teman saya yang telah lama berburu segera memanggil dan mengijinkan saya melakukan tembakan pertama pada bajing terbesar yang pernah saya lihat. Segera saja saya membidik bagian dada bajing dan melepaskan tembakan dari Walther LGV saya. Teman saya tahu benar bahwa senapan saya masih perawan dan belum pernah menumpahkan darah. Maka dengan sabar beliau menunggu saya membidik dan menyiapkan tembakan cadangan bilamana saya meleset ataupun bajing tidak mati pada satu tembakan. Benar saja, setelah saya menembak si bajing tidak langsung mati. Si bajing hanya tertegun namun juga tidak kuat untuk meloloskan diri. Dengan sigap teman saya mengakhiri penderitaan si bajing dengan menembak kepalanya. Bajing langsung menggelepar akibat tumbukan mimis  di kepala kiriman Sharp Tiger milik teman saya.
Menjemput buruan yang jatuh pada medan yang berbukit setelah hujan adalah faktor kesulitan yang lain dan tidak kalah pentingnya. Saya langsung angkat tangan dalam hal ini. Saya yang tidak menggunakan tali sandang senapan karena kurangnya persiapan tidak mampu mengendalikan keseimbangan untuk menyusuri tebing sambil membawa senapan berbobot total hampir 5 kilogram besreta perlengkapannya. Sekali lagi kearifan teman saya yang jauh lebih berpengalaman mampu menggapai daerah tempat jatuhnya bajing tersebut dan mempersembahkan kepada saya hasil tembakan kami. Rasa malu saya bukan main namun sekaligus senang karena saya berhasil menembak bajing dengan senapan saya yang satu ini. Statusnya kini resmi sudah dibaptis dengan darah binatang.

Bajing pertama saya dan darah pertama bagi Walther LGV Master.

Melanjutkan perjalanan mendaki menuju puncak bukit. Kali ini stamina saya benar-benar terkuras. Belum habis rasa kaget saya menemui medan yang mendaki dan licin, saya harus mendapatkan pukulan lagi akibat merasakan rasa sesak nafas akibat kesulitan menyamakan kecepatan. Ternyata membawa beban senapan dan perlengkapan yang berat dan pengaturannya yang tidak efisien membuat saya kesulitan mengikuti langkah teman saya dan sang pemandu yang jauh meninggalkan saya. Berikutnya saya sudah tidak lagi berkonsentrasi untuk melihat cabang-cabang pohon. Langkah saya didominasi usaha menjaga stamina dan tindakan kehati-hatian agar saya tidak jatuh dan menjatuhkan senapan saya yang berharga. Seandainya saya memiliki tali sandang saat itu maka tangan saya lebih bebas untuk menyeimbangkan badan. Ditambah kondisi badan yang sudah tidak prima akibat tidak pernah dilatih. Rasanya setelah 2 jam pertama perjalanan, saya sudah ingin mengibarkan bendera putih. Namun sayangnya ini adalah jalan satu arah. Saya harus tetap berjalan sambil beberapa kali tersungkur untuk mengikuti sang pemandu karena saya sudah tidak tahu jalan untuk kembali dan tidak mau berusaha mencari jalan pulang karena akan mempengaruhi moral teman yang lain.
Empat jam melewati siksaan, kami berhasil menyatukan tim yang dipecah untuk istirahat sarapan. Kami semua menyatukan perbekalan dan makan pagi yang tertunda. Walaupun hidangannya jauh dari kesan mewah dan berimbang gizinya, namun rasanya setelah semua kejutan tadi makan pagi ini adalah makanan ternikmat yang akhir-akhir ini saya santap. Cukup nasi dengan mie cepat saji yang dimasak kematangan sebelumnya di rumah. Karbohidrat dan karbohidrat. Sampai saat ini saya sudah menghabiskan hampir satu liter cadangan air minum saya.
Pada check point ini kami mengumpulkan hasil buruan semua tim. Sudah belasan ekor bajing kami kumpulkan. Tidak ada kontribusi yang bermakna dari saya tentunya. Kami menggunakan waktu selain untuk sarapan dan mengevaluasi kesulitan medan juga untuk menguliti dan menyiapkan bajing yang kami dapatkan. Agar proses pembusukan tidak berjalan cepat segera setelah bajing mati dan supaya pada saat dimakan nanti bisa tetap layak, maka bajing harus diproses sesegera mungkin. Dengan cekatan pemburu senior segera menguliti bajing, mengeluarkan organ dalam (jeroan) dan menyingkirkan kepala, lalu menyekat bagian karkas yang kontak dengan udara luar dengan cara dibakar. Untuk mengelabui rasa dari darah yang cukup kuat, pemburu senior telah menyiapkan jeruk nipis dan jeruk sambal untuk merendam karkas yang telah dibakar. Saya mengumpulkan kulit bajing untuk nantinya berguna menjadi barang kerajinan setelah diproses.
Seperti layaknya kehidupan di rantai makanan dan jaring-jaring kehidupan, untuk meghargai kehidupannya kematian setiap organisme harus membawa manfaat bagi organisme yang lain. Kami memperlakukan hasil buruan dengan hormat dan berusaha memanfaatkan semuanya dan menyisakan sesedikit mungkin bagi bumi dan mikroorganisme untuk langsung memrosesnya kembali.

Menyiapkan karkas untuk disimpan selama perjalanan. Setelah dikuliti, dibuang jeroan, dan dipisahkan kepalanya karkas lalu dibakar. Proses ini bermanfaat untuk menunda pembusukan agar perburuan bisa terus dilakukan. Obor butana portable bisa sangat bermanfaat dalam situasi ini.

Dari evaluasi ini saya berusaha belajar mengapa ada beberapa orang yang menonjol dalam perburuan tadi. Mengapa ada orang yang dengan mudahnya menjatuhkan sasaran sementara saya tidak berhasil. Semuanya menggunakan varian senapan Sharp Innova Indonesia baik Innova maupun Tiger (yang punya senapan sejenis boleh berbangga). Bagi pemburu yang berpengalaman seperti teman satu tim saya, menembak dengan mimis jenis dome sangat efektif pada jarak berburu (15-20 meter) dengan mengarahkan tembakan di kepala (menggunakan RWS Superdome). Sedangkan untuk rekan lain yang tidak memusingkan di mana mimis disasarkan lebih memilih menggunakan mimis berkepala datar (menggunakan RWS Supermag). Hal ini sesuai dengan penemuan saya saat membedah hasil buruan. Senapan turunan Sharp Innova yang dipompa sebanyak 5-6 kali menghantarkan mimis dengan kecepatan 675-700an fps atau sekitar 12 fpe sangat cukup untuk kegiatan berburu. Dengan daya seperti ini pada karkas yang saya amati terdapat luka tembus di bagian vital banyak dihasilkan oleh mimis jenis dome. Sedangkan luka yang tidak tembus namun tetap menghasilkan kematian pada bagian kurang vital dan bahkan meninggalkan proyektil di dalamnya didapatkan pada mimis jenis wadcutter. Saya lihat juga sampel karkas yang masih menyimpan proyektil dome pada bagian kurang vital yang mungkin diakibatkan senapan yang dipompa di bawah rata-rata. Sama efektifnya namun semoga kematian berlangsung cepat bagi si bajing. Sedikit daya penetrasi dan banyak daya rusak.
Bagi senapan saya yang memiliki kecepatan 750 fps dengan mimis dome Beeman Kodiak, energi sebesar sekitar 13 fpe hanya menghasilkan luka tembus dan efek acupunctur bagi si bajing. Lubang yang kecil pada bagian yang tidak mengandung pembuluh darah besar tidak akan menyebabkan perdarahan dan kerusakan berarti. Terlalu banyak penetrasi dan sedikit daya rusak.
Setelah istirahat sejenak dan menampung keluh kesah peserta perburuan, diputuskan untuk berpindah lokasi yang lebih mudah ditempuh. Ternyata bukan saya sendiri yang mengeluh. Lonjakan gula darah yang menenangkan dan efek perut yang kenyang membuat perjalanan siang hari ini menjadi lebih berat. Semangat terus dipelihara karena lokasi yang hendak ditempuh menjanjikan suasana supermarket bajing. Populasi yang melimpah dengan lokasi yang mudah dijangkau.

Perburuan tidak melulu sekedar ketegangan dan agresifitas. Menyempatkan diri menikmati kekayaan alam dan budaya adalah nilai tambah dan penyeimbang.

Perburuan tidak melulu sekedar lonjakan adrenalin dan insting agresifitas. Banyak sisi lain di dalamnya seperti menikmati keindahan alam dalam kondisinya yang minim sentuhan yang rasanya sulit dipercaya masih bisa didapatkan di tanah Jawa khususnya di Propinsi termaju kedua di Indonesia. Saya pribadi jadi teringat romantisme masa-masa wajib kerja sarjana saya dahulu saya alami di lokasi yang mirip seperti ini namun sayangnya dahulu saya belum mengenal senapan angin dan kawan sehobi. Bahkan pertemuan dengan penduduk setempat yang dengan mata ramahnya tanpa aura kecurigaan khas perkotaan sangat menyejukan hati. Ajakan mampir dan spontanitas penduduk lokal yang dengan tulus membuka pintu rumahnya untuk kami beristirahat adalah sisi lain perburuan yang menyeimbangkan. Sangat menyenangkan untuk sejenak menjauhi internet dan berpaling dari wajah-wajah menderita pasien saya.
Menjelang akhir hari itu, tepatnya pada tengah hari dan di lokasi perburuan kedua saya mendapatkan kejutan. Sesuatu menggerayangi tengkuk saya dan  setelah saya singkirkan ternyata ada seonggok ulat bulu. Tidak ada pengalaman buruk saya sebelumnya kala berhadapan dengan ulat bulu. Dan saya tahu benar dengan menyingkirkan bulu-bulu yang tertanam di kulit, maka masalah akan cepat selesai. Namun masalahnya ulatnya terkejut di tengkuk, bagian yang tidak dapat saya lihat. Ditambah pori-pori kulit yang melebar akibat terkena panas matahari dan metabolisme, akibatnya efek alergi menjadi dramatis. Dengan cepat saya mendapatkan serangan alergi yang cukup hebat. Mulai sesak nafas yang sebelumnya tidak pernah saya miliki dan rasa kebas dari wajah yang mulai bengkak. Akhirnya saya harus memaksakan diri untuk kembali ke mobil dan berpisah dari tim untuk mendapatkan persediaan obat darurat saya.
Pada akhir hari itu kami mengumpulkan dua puluhan ekor bajing. Karkas kami bagi-bagikan sesuai kebutuhan dan keinginan tanpa melihat kontribusi seseorang. Bagi saya sendiri wajah yang bengkak, nafas sesak, otot yang mengalami kram, dan pastinya kelelahan adalah ganjarannya. Namun harga ini layak dibayarkan untuk sebuah pengalaman baru yang tidak terlupakan. Semoga daging bajing ini cukup membayar tumpukan cucian kotor untuk isteri tercinta saya. Syukur-syukur dapat pijatan gratis pula.

Sebuah Catatan Kegagalan
Kegagalan memberi lebih banyak pelajaran dari dalamnya. Berikut pembelajaran yang saya dapatkan pada hari itu. Saya yakin pembaca budiman yang lebih berpengalaman  memiliki banyak lagi yang bisa dibagikan. Ijinkan saya membagikan dari yang saya rasakan.

Persiapan fisik dan persiapan mental. 
Jargon yang sudah sangat sering didengarkan tapi kenyataannya sulit untuk dikerjakan. Tidak dapat dipungkiri pengetahuan tentang titik-titik mana sasaran berada, kondisi medan perburuan, dan cuaca penting adanya. Beberapa program latihan kardio untuk menambah kapasitas jantung dan paru-paru rasanya berguna sekali di dalam situasi berburu maraton ketimbang fokus latihan kekuatan. Memompa dan memegang senapan dengan mantap memang dibutuhkan. Namun bila saya tidak dapat mencapai titik perburuan apa pula gunanya. Kepercayaan diri bisa menjadi musuh dalam selimut.

Perlengkapan berburu bukanlah gaya berbusana semata. 
Saya bukanlah seseorang yang antusias dengan berbagai peralatan berburu. Namun memasuki hutan tanpa menggunakan tali sandang senapan, pakaian layak, sepatu yang anti selip dan botol minum yang mudah diakses rasanya hanya akan menyulitkan diri sendiri dan bahkan anggota tim yang lain.

Mengenali senjata kita.
Memiliki senapan angin bagus itu perlu. Namun bagaimana kekuatan senapan itu menghantarkan mimisnya, bagaimana karakter senapan kita, apa mimis yang digunakan dan bagaimana peluang keberhasilan kita mengenai organ vital (kill zone) adalah modal dominan. Bagaimana bila saya hanya melubangi bajing di luar kill zone dengan mimis dome yang saya tembakan dari senapan berkekuatan besar akibat ketidakmampuan saya menguasai recoil di saat lelah?

Obat-obatan.
Saya bukan penggila ilmu dasar saya. Namun rasanya mengganggu sekali jika permasalahan sepele seperti alergi terjadi di tengah hutan. Atau masalah sesederhana sakit kepala, luka kecil, kulit perih akibat terbakar matahari atau perut yang tidak kompromi akibat terlambat makan atau salah makan. Saya tidak mau menjadi panik dan mengganggu kesenangan orang lain.

Sekarang sedang demam "selfie". Kalau selfie dalam keadaan alergi, mata merah, hidung dan anggota wajah lain bengkak, sambil sesak nafas ada yang mau?

Demikian catatan dari perburuan perdana saya. Catatan pribadi yang akan selalu saya kenang. Pembaca yang budiman silahkan menikmati dan boleh berbagi kesan. Namun demi menghormati kawan yang lain, ijinkan saya kali ini tidak mengungkapkan semuanya secara detail pada blog ini. Semoga berguna.

Tidak ada komentar :